Tugas seorang pemimpin adalah
membentuk rangkaian irama toleransi dalam berbagai macam sudut pandang yang
terlisan ataupun tertulis di meja musyawarah. Dewasa ini membutuhkan jalinan
relasi tiap perwakilan penggagas pikiran pada pembahasan masalah. Di dalam
suatu komunitas kontemporer atau bahkan sebaliknya. Kepemilikan atas nama
kelompok adalah tonggak terbentuknya sistem keanggotaan yang sudah
terklasifikasi pada tiap bidang. Akar-akar yang mencabang sejatinya berasal
dari satu batang atau tangkai tumbuhan. Tumbuhan inilah yang mempengaruhi kadar
kualitas daripada akar itu sendiri. Di zaman mutakhir ini seorang siswa atau
siswi disuguhkan berbagai macam pilihan gaya hidup. Fleksibilitas dalam memilih
pilihan sudah menjadi faktor utama terbentuknya suatu kegiatan. Di dalam
pemikiran anak yang bijak, sudah menjadi tanggungjawab mereka untuk menanggung
apa-apa yang ia pilih. Tetapi dilain pihak, ada pula anak atau bahkan kelompok
tidak ingin memilih pilihan yang disuguhkan secara damai. Bahkan ada pula yang
memilih salah satu pilihan, tetapi mereka tidak arif dan bijaksana.
Ketidakjujuran selalu menutup-nutupi realita yang telah berjalan alurnya.
Disinilah mereka, mau tidak mau harus memimpin diri mereka, menggembleng diri
sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu keunikan pada setiap insan. Pola
pikir, gaya bahasa, curahan, moralitas serta keseharian tiap orang pun
berbeda-beda. Tanda seseorang yang sudah lulus atau dilabeli nilai cukup ialah
ketika pada saatnya diuji. Kesabaran, kesadaran, intelektualitas dalam berpikir
seharusnya—secara otomatis, menetap di dalam pikiran mereka. Seperti pepatah
yang mengatakan “Sediakan payung, sebelum hujan.” Dari situlah kita berpikir
substansial mengenai faktor pembentuk, penghalang, penghambat, kesadaran ruhani
maupun jasmani sesuai kapasitas yang berlaku. Namun, yang terjadi dilapangan
malah sebaliknya. Ciri khas seseorang sudah terkubur dalam hiruk-pikuknya
keduniaan. Kecacatan kepemimpinan di dalam memimpin telah tergores budaya asing
yang manja. Membuat semua orang dibuat candu olehnya. Tanggung jawab,
kejujuran, dan kesabaran didalam memimpin sudah dikarantinakan menjadi suatu
hal yang langka. Di dalam pemerintahan Indonesia misalnya. Pejabat-pejabat
berpangkat tinggi tentu juga mengakomodasi nilai interpretasi atas rumusan
masalah hanya berdasarkan kondisi perut mereka. Apakah masih menggerutu di
dalam atau masih menggembung kekenyangan. Pemimpin seperti itu sudah tercemari
oleh nafsu keduniaan. Tonggak hukum hanya bisa terlaksana apabila satu,
kesempatan di dalam suasana. Kedua, keadaan si pemimpin sendiri apakah sanggup
menelan uang haram itu atau malah kekenyangan sampai moh-moh. Ketiga, relasi yang bersangkutan atas kepentingan itu
sendiri. Itu semua pun mlakune amung
kanggo kae lo, wong cilik. Relasi lah yang membuat hukum itu berjalan atau
terhambat, bahkan putar balik. Sistem hukum di Indonesia itu suci apabila berada
pada tangan yang tepat. Para pemegang kekuasaan lebih suka mengintimidasi yang
tak dikenalnya, dan apabila masih sanak saudara, para pemegang dengan
terpaksa—atau malah berkeinginan, menerapkan sistem tawar menawar. Membuat
hukum semakin tumpul. Meskipun dari pada itu, harta karunlah yang akan menjadi
bahan pertimbangan si pemegang kekuasaan untuk menyamaratakan antara vonis
hukuman dengan jumlah nominal terlampir. Inilah yang terjadi sekarang. Para
pemimpin yang baik sudah tercemar nama baiknya gara-gara temannya sendiri.
Mereka dalam lingkaran kegelapan. Mau tidak mau mereka di cap jelek—bahkan
apabila sudah menerangi dirinya dengan lampu keimanan. Bendungan para
pengkhianat sudah ambrol, meluber, membanjiri seantero desa bahkan lebih luas.
Negara. Entahlah, faktor apa yang membuat para pemimpin di zaman mutakhir ini
terlena akan janji manis nya pada saat akad pencalonan. Sumpah serapah. Sampai
sekarang itulah yang membuat Si Danak, si pendekar desa—yang sudah
melalang-buana, berpikir dua kali ketika tawaran akan keanggotaan desa sudah
tersurat kepadanya. Lalu,pada saat Danak mengistirahatkan pilihan-pilihan itu,
merelakan kicauan segerombol manusia di terpa angin hujan, ia menemukan
kesejatiannya. Yaitu dengan tidak menjadi apa-apa.
Senin, 9 Oktober 2017
0 komentar:
Posting Komentar