www.media.licdn.com


  Melebih-lebihkan konteks jamak sangatlah bergantung pada rantai sastra atau hal lain daripada itu. Keinginan dialektis seseorang mampu membuat seseorang tergugah atau merasa butuh akan hal tersebut. Mencari ide atau inspirasi sebagaimana mestinya tanpa berdiskusi dua kali. Bagi --Ia-- , yang pernah mengusik hal tersebut akan merasakan dan menikmati yang namanya bebas berkomunikasi dalam bentuk apapun. Kita melihat berbagai macam genre sebuah prosa, gambar bergerak (Video), atau karangan imajiner lain di berbagai negara dengan konseptual awal yakni --Rasa ingin tahu serta pemuas diri--. Kita yang disortir, dikategorikan manusia kalangan bawah hanya bisa duduk manis menikmati suguhan hiburan yang tersaji di depan mata. Sedangkan orang kalangan atas --para penggerak, sang creator, lakon-- lebih tahu betul akan maksud yang termaktub ataupun tercantum diatas media apa saja. Nah, disinilah titik akar pemikiranku bermula. Sebagai seorang siswa atau seorang murid yang terpelajar, kita diharuskan faham atau ingat materi yang terus keluar masuk telinga kita setiap hari. Seperti pembelajaranku lusa tadi, tentang materi Bahasa Indonesia. Puisi yang telah dipaparkan atau dikaji ulang itu telah memutari otakku berkali-kali. Pak Guru menyelipkan beberapa tafsir miliknya pada tiap jeda ritme pembelajaran berlangsung. Kami diharuskan memberikan komentar atau pendapat pribadi setelah puisi selesai dilantunkan. Pada kosmik pemikiran orientasi kaum sumbu pendek, terdapat kata yang disakralkan yaitu "Wes bar yo bar". Maksudnya setelah pembelajaran telah usai, mereka tak berfikir dua kali, mereka bodoh amat menafsirkan atau membuat replika yang tercantum di esok hari. Pada proses pembelajaran terdapat sub-bab yang berisikan rentetan materi yang saling berkaitan secara komperhensif. Dalam sudut pandang pikiranku, apabila kita hanya diharuskan melihat atau lebih dari itu -mengaktifkan seluruh indera kita- untuk memberikan komentar sebuah karya seni tanpa pernah tahu bagaimanakah cara membuatnya adalah sama saja memunculkan atau menumbuhkan kecacatan intelektualitas dalam berfikir. Sang creator dibekali tekad dan semangat tanpa harus melihat General of Rules ( aturan umum ). 

  Mereka tidak suka berlama-lama mengingat pola atau tata cara baik yang tertulis maupun tidak, pada media apapun. Mereka para inovator melakukan apapun hanya berdasarkan kesadaran diri saja. Mereka tergugah setelah menilik beberapa karya seni yang telah diniikmatinya kala itu. Dan mereka hanya terus melakukannya, menumpahkan segudang imaji pada media yang ada di depan mata. Dan untuk para pengamat. Mereka tidak punya itu. Mereka tidak punya keberanian untuk mencoba hal-hal baru yang padahal membangunkan kreativitas-kreativitas dari awal. Mereka takut berkompetisi, ikut terjun dan berkiprah pada bidang apapun. Mereka adalah kaum yang secara otomatis siap ditindas oleh bangsa manapun. Ketidaktahuan itu nyatanya di jabarkan secara tidak sengaja melalui tingkah lakunya. Dan bagi orang yang berjiwa pekerja. Pengetahuan adalah titik awal bermunculnya konsep-konsep ilmu apapun yang siap digunakan untuk kedepannya nanti. Itulah beberapa bagian yang menciptakan emosi didalam jiwa sehingga memunculkan kobaran atau gugahan dalam hati. Semua itu kembali pada individu-individunya masing-masing, Toh apa-apa yang kau tanam adalah apa yang tuai esok hari. Tanggungjawab sepenuhnya ada ditangan para manusia. Khususnya para manusia yang sadar akan kedudukannya di muka bumi ini. Dan bagi para pelajar sepertiku, memberikan komentar atau mengapresiasi suatu bentuk karya seni adalah belum cukup untuk mengenali seluk beluknya lebih dalam. Maka, tahap uji coba adalah jawabannya. Melihat, merasakan, lalu mengimplementasikannya kembali pada tiap bidang yang digeluti.

0 komentar: