Ditulis Jumat, 05 Mei 2017 

Pagi jam enam sudah berdiri tepat disela-sela kesibukkan. Pagi yang cerah itu mendadak hening seketika temanku datang. Ia membawa suatu hal yang kuanggap tidak penting sih. Mungkin hanya sebuah kabar yang tak menyangkut tentang diriku. Perlengkapan untuk berangkat ke Jolotundo sudah kukemas saat malam menaungi hari minggu yang terasa spesial buatku. beriaskan simple, tak terlau banyak penekanan pada model pakaian karena yang kutekankan adalah kenyamanan diri saat memakai pakaian di tempat tujuan. Dalam hal persiapan akulah yang cukup signifikan mencari sesuatu yang kurasa janggal maupun benda yang hilang begitu saja. Karena buatku, persiapan adalah gerbang awal menuju suasana santai saat semuanya bingung berbuat apa. Kami berdua berangkat ke rumah Pak Sis pada pukul 7 lebih. Yang kuherangkan sesaat kala tiba di halaman rumah adalah suasana sepi yang membuatku bertanya-tanya. Kemana semuanya? ataukah dalam perjalanan kesini?. Bis  elf itu mewakili perjalanan kami yang akan dimulai nantinya. Setelah segelintir anak yang bersedia hadir di acara liburan ini, kami berangkat ke tempat tujuan yang beranggotakan hanya tujuh orang termasuk diriku. 

Semuanya tertatih diam meratapi keheningan suasana perjalanan diatas kursi bis. Tak terucap sedikit kata pada setiap orang termasuk diriku. Pak Sis mencoba menghandle keheningan suasana ini namun tak bisa. Yah memang inilah anak-anak. Apalagi diriku yang cenderung tak memaksakan diri dalam berbicara dengan lawan jenis. Berhenti sejenak di POM Bensin dan melanjutkannya dengan meminum segelas air yang sudah dibeli. Kacang menghampiriku dalam diam. Kuucapkan terimakasih seraya mengupasnya cepat berharap rasa mual ini kembali memudar. Setelah beberapa jam di jalan raya kami semua melihat bukit yang berdiri gagah di depan. Hawa udara kian menyejukkan paru-paru. Terik matahari yang redup mengiringi setiap perputaran ban. Pemukiman yang masih lengang ini membuatku betah untuk berlama-lama disini. Tujuan kami hanya beberapa ratus meter. Aliran air yang mengucur deras dari hulu ke hilir pengairan mengakomodasi setiap gemericiknya air yang memantul bersama. Menghipnotisku sesaat seraya melihat pemandangan sejauh mata memandang. 

Jalan mencuram naik. Kami sudah sampai pada tujuan yakni Jolotundo. Bau semerbak kemenyan mengawali destinasi liburan singkat ini bersama teman satu les. Dingin!, ucapku dalam hati seraya mengusapkan air kran kamar mandi ke seluruh tangan. Kami tiba disana kira-kira pada pukul 11.30. Bersantai sejenak menikmati pemandangan yang tak biasa ini bersama Mas Kemas selaku putra Pak Sis sendiri. Banyaknya orang yang beragama hindu mengitari tempat pemandian membuat rasa penasaranku mencuat. Apa yang dilakukannya, sedang apa mereka, kenapa mereka duduk bersama dan rela diciprati entahlah apa itu. Yang jelas mungkin mereka sedang beribadah. Beberapa menit setelah menyesuaikan tubuh pada suasana sekitar Pak Sis datang untuk mengatur kami semua berkumpul di area Istirahat, entahlah aku tak tahu namanya yang jelas seperti bangunan rumah namun hanya menyisakan lantai kosong yang terhampar dibawahnya. Seperti yang Rama katakan, Evi sepertinya tidak nyaman dengan suasana hening seperti ini padahal suasana seperti ini buatku sangatlah mengasyikkan sekali. Ia menatap kesana kemari, banyak arah mencoba memfokuskan pikirannya. Setelah berdialog singkat dengan teman sekalian saya mencoba menepi mendekati pagar ruang. Slebbb!, hatiku tersentak sesaat setelah pandanganku mengabur sesaat. Dibagian kepala belakang terasa berat sekali namun di bagian leher terasa ringan seolah-olah menyuruhku untuk merebahkan badan. Setelah percakapan usai kami mendekati area wisata yakni petirtaan Jolotundo. Air mengucur di sela-sela batu yang tersusun rapi hingga kini. Orang-orang berbondong-bondong membawa satu jirigen kosong yakni diisinya dengan air tersebut. Konon air tersebut diyakini sebagai obat awet muda. Siapa yang mandi di tempat ini wajahnya akan bersinar itu cerita dari Pak Sis dan yang tau hanyalah Pak Sis dan temannya sendiri. Saat mengobrol asik dengan Rama tiba-tiba Pak Sis mendekati pasangan turis yang sedang menikmati panorama alam. Kami berusaha mendekat dan hanya bisa berfoto ria bersama. Kuakui kata-kata yang kupelajari belum cukup untuk menggaet para turis-turis tua seperti itu. Apalagi turisnya juga sedang belajar bahasa inggris. Pemandian sudah dihadapan kami semua namun semuanya membantah tidak ingin menyicipi segarnya air pegunungan. Lantas aku mengawali teman-teman yang terlalu lama berdiskusi membahas pemandian. Mereka semua sedang berganti pakaian sedangkan aku Bodoh Amat dengan yang lain. Tas kuletakkan disamping relief batu, kucopot baju dan celana lalu menuruni batu yang tertata rapi dan Jleeeb!. Perasaan itu dimulai dari ujung kaki. Dinginnya air pemandian membuatku betah berlama-lama disini. Asap kemenyan mengepul diatas pancuran air yang mengalir deras. Sisa bunga bekas seseorang mengambang diatas air. Kucoba dekatkan kepala ini di aliran air seraya menahan napas. Bau kemenyan semerbak mengitari area ini hingga aku beranjak pergi. 


Semuannya sudah berakhir. Destinasi ini sudah kurasakan keindahannya. Betapa segarnya air pegunungan. Namun sebetulnya sih sama dengan air di kota kelahiranku cuman yang membedakan hanyalah kegiatan sakral umat agama lain yang membuat suasana lokasi wisata menjadi hening penuh kenyamanan. Kami semua pulang pada pukul setengah tiga sore dan sampai pada tempat awal pukul 4 sore. Semuanya pulang kerumahnya masing-masing dan hanya menyisakan diriku dan Rama yang masih antusias dengan kegiatan ini. 


0 komentar: