Ditulis
Senin, 09 Mei 2017
Pagi-pagi betul diriku sudah bersiap diri akan gejolak yang
menimpa. Suasana pagi itu menjadi teror bagi diriku walau tak signifikan. Afit,
ia datang ketika janji yang kuutarakan dihari sebelumnya. Ia berpakian lengkap
seperti orang yang akan berpergian jauh
sementara aku masih menggunakan celana pendek tak bermerek. “Sorry Fit, aku ga
bisa ikut”, “Loh kenapa?, ada apa?, kemarin bilangnya ikut sekarang kok nggak
jadi gimana sih kamu itu?”. Satu kecapan pernyataan yang kuutarakan tetapi ia
menjawab dengan satu kecapan lebih. “Aku sibuk, ga ada uang untuk berpergian.
Sori gue ga bisa banget sumpah”, “Lah emangnya kenapa?, lo nggak kasihan ama
temen lo yang udah rencana ikut jalan-jalan gathering
bareng temen-temen. Si Arif dia nggak bisa ikut kalo kamu nggak ikut pergi”.
Okay-okay, jawaban itu sudah cukup untuk menyesali apa yang sudah kuperbuat
sebelumnya. “Udah ayo cepet mandi sono, kalo sudah langsung ke Glintung yah!”,
“Oke, aku mandi dulu”.
Beberapa menit berselang setelah
persiapan mendadak, aku teringat beberapa hal tentang tugasku. Mengapa aku jalan-jalan bersenang-senang
disana sedangkan kewajiban tugasku belum ada yang terselesaikan?, tapi aku tak rela membiarkan temanku menunggu
kedatanganku yang enggan ikut jalan-jalan, tapi tugas ini sudah mepet deadline,
tapi aku juga belum pernah kesana kapan lagi aku bisa jalan-jalan kesana kalo
nggak sekarang tapi, mengapa aku bimbang kayak gini yah, Ahh bodo amat soal
tugas nanti setelah tiba di rumah kan bisa dikerjain yang penting sekarang
temenku nantinya nggak akan kecewa pada diriku. Oke fix gue ikut deh. Oh ya
sampe mana tadi. Aku termenung sesaat membawa pakaian ganti yang katanya
nanti untuk ganti baju setelah renang di puncak. Simple, hanya tas, air minum,
kantong plastik dan pakaian ganti soal kedinginan ato nggak bodo amat toh nanti
bisa minum kopi disana.
Kulangkahkan perjalanan ini dengan budget yang pas-pasan. Datang tiba-tiba
diantara kerumunan rumah yang berjejer rapi di pedesaan yang masih asri
pemandangannya. Si Afit dan Doni menyambutku kala aku tiba dirumah Danak.
Mereka membawa peralatan lengkap untuk dibawa ke puncak sana. “Mana si Arif,
katanya ikut kita jalan-jalan?”, “Kemarin dia bilang begitu, coba kamu
kerumahnya dulu mungkin ia lupa kalo hari ini waktunya jalan-jalan” Tutur Afit.
Setelah berdialog singkat dengan Afit, ku datangi rumahnya yang tak jauh dari
rumahnya Danak. “Ada apa man?” Arif bertanya kepadaku yang masih memakai
pakaian serba pendek. Celana pendek, kaos pendek tetapi tidak dengan
rambutnya. “Loh, apa kamu nggak ikut
kita jalan-jalan?, lo lupa ya kalo hari ini kita ke Puncak Trawas?”, “Bukannya
gue lupa Rud, aku nggak ikut jalan-jalan sama kalian karena aku nggak ada uang
untuk bepergian jauh”, “Tapi katanya Afit lo ikut kita jalan-jalan”, “Iya tapi
nggak jadi lo nggak tau apa kalo gue sekarang nggak ada uang dipaksa kayak
apapun tetep nggak bisa ikut”. Anjay
katanya kemarin ikut ke Trawas sekarang malah nggak ikut, lah gue kasihan ama
lo gimana nanti kalo gue nggak bareng sama lo lah sekarang? Lo yang nggak bisa ikut, Batinku terasa
runyam igit-igit.
Danak pun sudah didepan rumah,
berdandan rapi menyiapkan
perlengkapannya. Kami sudah siap berangkat. Hanya empat orang yang ikut
perjalanan yang sangat jauh ini. Dimulai dari pukul 8 lebih 30 menit sudah kami
lalui di Glintung dan sekarang kami maksudnya aku sendiri, harus fokus pada apa
yang nantinya akan terjadi aku nggak mau lagi kenangan buruk itu kembali
menganga difikiranku. Aku membonceng
Danak yang bobotnya ringan untuk dibawa keatas. Medan menanjak itu sudah kami
rasakan setelah berada di Kecamatan Pacet. Kami urungkan niat pergi ke Trawas,
aku yang mengusulkan untuk tidak pergi kesana karena pikirku sama-sama renang
kok kenapa jauh-jauh ke Trawas kan bisa renang di UNESA toh di sana hanya ada
pemandangan gunung yang nampak dimata. Aku berargumen seperti itu karena aku mencari
sumber air yang jernih alami, bukan buatan kayak kolam renang. Tetapi setelah tiba di destinasi kedua setelah
Trawas yang urung, kami hanya berimajinasi tentang pemandangan air terjun Watu
Ondo di kedai warung kopi. Suasana yang tidak memungkinkan serta mesin sepeda
motor yang sangat panas membuat kami berteduh menghabiskan waktu sejenak menunggu hujan reda
dengan secangkir kopi panas dan mie instan. Kami berbincang, berdialog
bergantian, tertawa bersama dan menikmati pemandangan hijaunya alam serta
embunnya hujan. Mungkin karena di daerah sini tidak ada sinyal jadi kami
berempat hanya bisa fokus dengan apa yang kami kerjakan bersama bukan hanya
dengan menundukkan kepala seraya mengetik memberikan kabar pada teman lain di sosmed. Kukira itu
perbuatan yang tidak efisien karena berbincang dengan orang yang tak nampak di
hadapan mata berbeda dengan berbincang dengan orang yang tampak kasat mata.
Menjadikannya teman sosmed engkau tak tahu menahu apa yang dia kerjakan, apa
yang ia rasakan, apa yang ia pikirkan ketika kau berdialog bersamanya. Kau
hanya bisa menebak. Berbeda lagi dengan teman nyata, teman yang nampak kasat
mata dihadapan kita yang secara gamblang memberikan arti tentang hidupnya
suasana kebersamaan. Itu sih hanya pendapatku yang omong kosong. Setelah hujan
mereda kami bergegas ke atas melewati tikungan tajam yang berkelok dengan
kondisi aspal yang tidak merata naik turun membuat suara sepeda kami bergemuruh
memantulkan gema disekitarnya. Saat itulah perjalanan yang membutuhkan
konsentrasi ektra karena jalan yang licin serta jarak pandangan mata yang
pendek akibat embun hujan. Tempat kami sudah dihadapan, kami parkir gratis
tanpa ada biaya tambahan. Setelah menuruni tangga batu yang berkelok tajam suara
gemuruhnya air terdengar konstan berirama ditelingaku. Dua air terjun itu
membuatku takjub akan ke esaan tuhan yang telah memberikan segenap unek-uneknya
akan keindahan ciptaannya kepada kami. Kami berfoto ria sejenak sembari
merasakan gerimis hujan yang kembali datang. Setelah semuanya tergenapi tinggal
aku yang belum merasakan keindahan alam yang sesungguhnya yaitu merasakan
keberadaan alam yang sudah dilahirkan
sebelum aku berpijak didunia yang kaya akan sejarahnya ini. Aku berpijak disini
untuk merasakannya seperti duduk bersila
diantara kerumunan pohon, suara air yang konstan dengan sejuknya udara menyatu
dengan alam, itulah alasanku kemari. Tapi, mau bagaimana lagi ada anak yang
usul untuk tidak bermain air disini sedangkan yang lain hanya menjawab
terserah, terserah dan terserah. Langit mencerah tetapi tidak dengan hujan.
Mungkin pertanda bagi kami untuk tidak
berlama-lama di tempat ini. Menggigil, lutut yang kaku kami rasakan
sejenak sembari berteduh ditenda atas setelah mendaki tangga batu yang menaik
menjauh dari jurang. Berbincang dengan seorang laki-laki disamping kami
berteduh dibawah tenda kayu membuat kedinginan kami lenyap sejenak. Tetapi
untuk menghilangkan rasa dingin ini secara keseluruhan yakni dengan berendam
air panas, itu salah satu ungkapan pendapat dari temanku. Tak usah difikir dua
kali kami mengiyakan dalih tersebut. Kami tancap gas menaik menuju singganasana
terakhir yakni Cangar 1. Kami mengeluarkan sepuluh ribu tiap kepala untuk biaya
tiket, cukup mahal sih bagiku. Uap air dari lobang bukit yang mengalirkan air
membuatku ingin segera menghangatkan badan disana. Kolam yang kami dalihkan
sudah dihadapan. Mencari kamar mandi dan berganti pakaian. Hangat dan sejuk
menyatu di tubuh kami berempat. Sejuknya udara serta nyamanya air membuatku
terhipnotis sejenak ditempat ini. Perbedaan suhu antara kepala dan tubuh sangat
signifikan akibat hujan. Tubuh kami terselimuti air yang hangat sedangkan
kepala kami terhembuskan oleh angin. Tetapi saat berganti pakaian kembali kami
rasakan hawa dingin yang menusuk tulang perlahan-lahan. Kenyamanan tubuh oleh
air hangat di pukul dua siang itu tak berlangsung lama. Tanganku mendekap erat
tubuh yang terbalut jaket merah berbarengan dengan kami bertiga yang menunggu
Afit diluar ruang. Kami menata rambut seraya menatap hijau alam sekitar yang mengelilingi
tempat ini. Haus, itulah yang kurasakan saat itu. Setelah menunggu Afit yang
membeli buah tangan untuk adiknya yang baru lahir di tempat parkir, kami
berempat meluncur kembali ke kaki gunung menuju singgasana rumah Danak yang
bertempatkan di Mojosari. Kami turun dengan sangat cepat karena sudah terbebani
waktu yang menuju senja. Kelokan, tanjakan serta jalanan licin sudah kami lalui
bersama. Beberapa menit setelah mempercepat lajur sepeda motor kami sudah tiba
di Mojosari, tempat kediaman baginda danak sewaktu dulu ia masih kecil. Bertamu
layaknya orang pada bulan Ramadhan, kami duduk berempat menikmati suguhan
makanan yang tersedia. Sangat murah memang, dua bungkus rujak mengganjal perut
kami yang berseteru. Tak banyak waktu yang kami sisakan untuk menikmati
pekarangan rumah baginda Danak sebab kami berpacu dengan waktu yang sangat
mepet, terutama aku yang mempunyai kepentingan pada malam hari. Kami kembali
pada pukul setengah enam tepat sebelum azan maghrib menggema ditelinga.
0 komentar:
Posting Komentar