http://weknowyourdreams.com

Ditulis Kamis, 13 April 2017

Kau tidak akan pernah tahu apa yang kurasa. Kau tidak akan tahu apa yang ada di depan mata. Hati dan pikiran menyatu dalam jiwa yang tersentak akan pengalaman. Tiga  bulan rasa kepahitan itu berjalan di atas hati yang terombang-ambing. Ada kalanya bersyukur atas apa yang telah terjadi tetapi, ada kalanya egoisme diri memuncak ingin mengakhiri kegiatan yang sia-sia ini. Tak ada perlambangan, tak ada simbol, tak ada suatu hal yang menjadi patokan sejarah yang terlalui. Hanya melalui sebait kata lah semua memahami. Celoteh hati tiap baris tercurahkan di atas pena yang tak terlihat. Engkau yang tak berkenan tahu atas apa yang kualami hanya termangu menatap kalimat yang tak dijelaskan secara subjektif. Kau hanya melihat dari sudut materiil. Kau hanya bisa berkata "Tulisan apa ini?". Kau hanya bisa berfikiran seperti itu hingga akhir paragraf. Tapi tak apa, memang itu yang seharusnya terjadi. Tapi, pentingkah kau tau secara detail apa yang kualami?, kurasa tidak. Engkau hanya bisa memasang raut wajah yang terlihat bersimpati sembari mendengarkan apa yang yang aku curahkan sedangkan dirimu berkat, "Bodoh amat, siapa peduli". Oke, sekarang aku bertanya kepadamu sekalian para pembaca. Amati baik-baik reaksi temanmu ketika kau mendapatkan pengalaman buruk. Secara esensialnya temanmu akan bertanya lebih lanjut perihal kejadian buruk itu menimpa dirimu. Tetapi dalam sudut pandang pikirannya hanya ada rasa ingin tahu, tahu dan tahu, Selepas itu bodoh amat. Lain cerita kalau engkau bercerita tentang hal yang mengasyikkan. Oke, tak usah di bahas terlalu panjang toh dirimu bukan diriku. Diriku pula juga bukan dirimu. Lantas apa yang sudah kukatakan itu tak akanberarti karena drimu butuh suatu hal yang wujud oleh mata bukan rasa yang terasa di dalam hati. Tapi tak apa, sejatinya memang begitu. 


Mata polos yang tak tahu menahu. Cara pandang yang masih kekanak-kanakan, serta mulut yang pandai bersilat lidah itulah dirimu. Itulah cara diriku memandangmu. Umur yang terpaut jauh dan kekuasan yang sangat dominan itu kau gunakan untuk menggoreskan luka yang tak nampak. Memunculkan keakuannya dihadapan kami berdua dan tak mau tau atas apa yang kami tanyakan, apakah itu yang dimaksud demokrasi?. Apakah itu yang disebut rasa kemanusiaan. Tidak, kau timbun kepandaianmu, kepintaranmu untuk dirimu sendiri lalu dihatimu berkata,"Kalian adalah pengganggu!!". Terlihat jelas topeng yang kau kenakan setelah beberapa kaii kami mengenalmu. Perbedaan yang sangat signifikan muncul ketika tugasmu sebagai karyawan menumpuk. Kau lampiaskan amarah yang tak jelas asbabun nuzulnya kepada kami padahal kami tak tahu menahu keinginan yang terselubung dibalik sikapmu itu. Namun anehnya sikapmu terhadap kami tidak konstan, dilain hari terkadang berbaik hati namun dilain hari pula dirimu berkebalikan. Tiga bulan itu kami tahan hanya untuk menyaksikan dirimu menindas kami secara kasat mata. Kata-kata itu, ucapan-ucapan itu yang kau utarakan kepada kami hanya bisa dijadikan bahan cerita atas apa yang telah terjadi tanpa bisa memutar balikkan waktu, mengembalikan momentum yang sia-sia kala kami bertemu denganmu. Kau bandingkan kami dengan yang lain, seolah-olah kami berada di ruang yang kedap tanpa celah. Seolah-olah kami berdua terisolasi atas tindakanmu sendiri dan kini magang itu telah usai. Sudah cukup yang kurasa. "Muak" hanya itu yang terlintas difikiranku ketika mengingatmu. 

0 komentar: