Ditulis Minggu, 19 Februari 2017

16  Februari 2017

Rencana kami sudah bulat. Jahe hangat mengepulkan asap putih diatasnya, tubuhku sontak nyaman sekali saat itu. Tas ransel yang kubawa mengembang berat dibelakang pundak. Rencana itu dibuat sangat matang, ~walaupun aku sebenarnya masih bimbang untuk melaksanakannya. Tempat magang kami lengang hanya menyisakan kami berdua, juga Mas Ali sendiri. Pesanan dari para customer tak begitu banyak, kami hanya mengambil, menggunting, menggulung bahan serta membuang bahan sisa potongan yang tak digunakan. Menit demi menit berlalu tak terasa sudah pukul setengah tiga. Aku dan Arif bergegas pulang,~walaupun belum saatnya pulang. Bilangnya ke atasan sih pulang tetapi realitanya kami menyusuri jalan Kecamatan Kebomas ini. Jalan menanjak, menurun, mengecil, dan berkelok tajam kami lewati bersama diatas jok Mega Pro. Suaranya lebih garang dan menggelegar tidak seperti sebelumnya. Berlagak sok tahu dan memasang raut muka tanpa dosanya membuatku risih. Tujuan awal kami yaitu Masjid Kedaton yang dekat dengan area wisata religi Sunan Giri, tempatnya dibiarkan dan tak ada penjual maupun peminta-minta di area tersebut. Lengang, sepi dan agak sempit jalan menuju kesana. Awan mendung lembut bergerak seiringan dengan mesra menatap kami dari kejauhan. Jalan setapak itu menaik perlahan. Pendopo berukuran sedang menunggu kami di ujung jalan. "Tempatnya bagus yah?"Tanyaku sekejap."Iya!"Jawab Arif singkat.

Rumput hijau nan asri menyambut kami. Pohon-pohon tinggi menjulang di kanan-kiri. Masjid itu dikelilingi makam-makam tua yang diperkirakan usianya ratusan tahun. "Ayok!, ke masjid"Arif bertanya kepadaku sembari menatap relief masjid tiga meter diatas kami. Hatiku menggebu-gebu ingin segera bersantai di atas sana. "Mana toiletnya?"Arif memahami lingkungan. (Di tembok tua bertuliskan toilet sebelah kiri namun saat kami mencarinya malah tidak ada, yang ada hanyalah batu nisan kuno tepat dibawah kaki masjid). Terpaksa kami berdua berganti baju di area terbuka, jelas sekali kami bugil dadakan. Kami berdua menjalankan syariatnya di dalam masjid kuno nan bersejarah sekali. Sepersekian menit bumi mengeluarkan air matanya begitu konstan. Kami yang bersandar di teras masjid mengagumi pemandangan yang elok ini. Embun sore serta kabut asap putih menyelimuti sejauh mata memandang. "Indah sekali bukan?"Arif tertegun sembari bertanya kepadaku. Aku menjawabnya hanya dengan mengangguk menikmati nuansa alamiah yang menyegarkan hati.

Hujan pun mereda. Kami kembali ke area parkir. Tak lupa pula sebelum pergi kami berfoto ria. Perjalanan kedua kami sempat terhambat dikarenakan sepeda yang kami tunggangi mengalami kendala teknis. Walau tak seberapa tetapi itu cukup menguras 'mood' ku.  Sunan Giri pun sudah dihadapan.~sempat memparkirkan sepeda di area sepi, namun ada dua orang yang bertingkah aneh mengitari sepeda kami. Demi meminimalisir kejadian yang tak diinginkan aku memindahkannya. Pencahayaan yang redup nan sejuk mengitari area pemakaman. "Hujan Rud!, ayok cepetan!"Arif bertutur kata. Tak ayal kami menunggu hujan mereda dengan membaca surat yasin di area pemakaman yang tertutupi tenda kayu.

Bersandar diarea khusus untuk peristirahatan membuatku nyaman menunggu waktu maghrib yang menjelang tiba. Kurasakan kantuk berdampingan dengan jutaan tetes air hujan yang membasahi bumi. Sempat pula kuluangkan sejenak membaca buku novel yang sengaja kubawa dari rumah.~walaupun hanya beberapa lembar. Kuacuhkan hujan yang menderas dengan melaksanakan kewajibanku."Perutmu laper nggak!?"tanyaku kepada Arif yang berdiri tepat disamping kiri menatap rembesan air menembus celah-celah kayu atap."Iya nih, laper banget gue!"tuturnya. Kamipun bergegas pergi menembus tirai hujan dan sama sekali tak menghiraukannya.

Niat kami makan besar urung. Kami berdua saling pandang setelah berhitung, mengintip celah dompet. "Rud, apakah uangmu cukup?"tanya Arif berbisik di telinga kiriku. "entahlah"jawabku memelas. Tanpa berfikir panjang kusambar gorengan yang tertib berbaris sembari memesan susu hangat dan kopi hitam. ~kuingat kala itu aku tak enak dengan seorang kakek yang duduk disebelah kanan. Buah tangan yang ia beli ku rusak hanya sekali tekan. Pantatku kehilangan arah gara-gara aku yang gagal fokus. "Maaf pak!"seruku dengan mimik muka orang yang bersalah. Tetapi ia hanya terdiam bisu menikmati wedang kopi sambil mengecek buah tangan. Ia tak menjawab permintaan maaf ku namun, apa boleh buat, aku sudah melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Menit demi menit berselang. rintik-rintik hujan masih berjatuhan dari atas langit. Hangatnya segelas susu yang kugenggam membuat rasa khawatirku mereda. ~bagaimana tidak pada bulan sebelumnya, yakni Januari aku sempat merasakan namanya sakit maag. Merebahkan badanpun tak kulakukan karena saat itu dalam perjalanan pulang dari kegiatan prakerin. Nasi goreng dihadapan, kursi kayu memanjang serta sepeda motor Mega Pro menjadi saksi bisu atas peristiwa yang terjadi kala itu. Peristiwa itu nyaris membuatku tak sadarkan diri. Menahan perut sakit bersamaan dengan guncangan sepeda yang membuat rasa sakit ini dua kali lipat lebih terasa. "Kamu pesan apa saja nak?"tanya nenek disampingku. Setelah kukatakan terus terang kepada pedagangnya, si nenek malah berniat membayar pesanan kami. "Makasih bu!"seru Arif menatap punggung kedua orangtua itu yang menjauh.

'Alhamdulillah rejeki memang nggak kemana', gumamku dalam hati sambil berjalan ke tempat parkir. "Berapa pak?", "Dua ribu!!"kakek tua menjawab pertanyaan kami sembari menata ulang letak awal posisi sepeda motor yang telah terparkir. Jaket merah dan sarung oranye kukenakan dari awal hingga perjalanan pulang berlangsung. Memang posisi saat itu hujannya sudah berhenti tetapi setelah beberapa menit menunggangi sepeda, hujan kembali mengguyur kami. Molekul airnya padat sekali, mungkin itu yang disebut hujan es. Si Arif yang berkonsentrasi memegang penuh kendali sepeda motor tak tahan dengan situasi yang krusial ini. Dengan terpaksa kami berdua berteduh di warung pinggir jalan tepatnya di daerah Rusun Sukomanunggal. Jutaan tetes air hujan menyelimuti namun kami tak menghiraukannya terlalu dalam. Kami hanya melirik memastikan kemudian menikmati hidangan kecil yang sudah kami pesan.

"Hujannya lama banget Rud!!"tanya Arif melirikku dengan nafasnya yang tak berirama konstan. Kuaiku hujan kala itu memakan durasi waktu yang cukup lama. Dan dengan hasrat yang menggebu-gebu, terpaksa kami pulang menghunus tirai hujan yang begitu deras tanpa jas hujan. Nasib memang, musim sekarang tak bisa diperhitungkan. Ada kalanya saat siang hari panas tetapi, saat menjelang petang hujan turun dengan lebatnya. Perjalanan kami dari Rusun Sukomanunggal hingga Kepatihan  diruntukki penuh kewaspadaan.  Jarak pandang yang begitu pendek, hujan yang mengguyur deras, serta aspal jalan yang berongga licin sewaktu-waktu merenggut nyawa kami. Tetapi tuhan berkata lain, Arif yang begitu antusiasnya ingin pulang mempercepat laju sepeda hingga 80 KM , bahkan lebih dari itu. Bayangkan, ia memang gila tetapi dengan kegilaannya itulah ia memiliki ciri khas yang berbeda dari temanku lainnya. ~Eh malah curhat tetapi itu memang benar, apa yang kutulis ini adalah hal yang nyata. 

0 komentar: