africanleadership.co.uk
   Tugas seorang pemimpin adalah membentuk rangkaian irama toleransi dalam berbagai macam sudut pandang yang terlisan ataupun tertulis di meja musyawarah. Dewasa ini membutuhkan jalinan relasi tiap perwakilan penggagas pikiran pada pembahasan masalah. Di dalam suatu komunitas kontemporer atau bahkan sebaliknya. Kepemilikan atas nama kelompok adalah tonggak terbentuknya sistem keanggotaan yang sudah terklasifikasi pada tiap bidang. Akar-akar yang mencabang sejatinya berasal dari satu batang atau tangkai tumbuhan. Tumbuhan inilah yang mempengaruhi kadar kualitas daripada akar itu sendiri. Di zaman mutakhir ini seorang siswa atau siswi disuguhkan berbagai macam pilihan gaya hidup. Fleksibilitas dalam memilih pilihan sudah menjadi faktor utama terbentuknya suatu kegiatan. Di dalam pemikiran anak yang bijak, sudah menjadi tanggungjawab mereka untuk menanggung apa-apa yang ia pilih. Tetapi dilain pihak, ada pula anak atau bahkan kelompok tidak ingin memilih pilihan yang disuguhkan secara damai. Bahkan ada pula yang memilih salah satu pilihan, tetapi mereka tidak arif dan bijaksana. Ketidakjujuran selalu menutup-nutupi realita yang telah berjalan alurnya. 

   Disinilah mereka, mau tidak mau harus memimpin diri mereka, menggembleng diri sedemikian rupa sehingga terbentuklah suatu keunikan pada setiap insan. Pola pikir, gaya bahasa, curahan, moralitas serta keseharian tiap orang pun berbeda-beda. Tanda seseorang yang sudah lulus atau dilabeli nilai cukup ialah ketika pada saatnya diuji. Kesabaran, kesadaran, intelektualitas dalam berpikir seharusnya—secara otomatis, menetap di dalam pikiran mereka. Seperti pepatah yang mengatakan “Sediakan payung, sebelum hujan.” Dari situlah kita berpikir substansial mengenai faktor pembentuk, penghalang, penghambat, kesadaran ruhani maupun jasmani sesuai kapasitas yang berlaku. Namun, yang terjadi dilapangan malah sebaliknya. Ciri khas seseorang sudah terkubur dalam hiruk-pikuknya keduniaan. Kecacatan kepemimpinan di dalam memimpin telah tergores budaya asing yang manja. Membuat semua orang dibuat candu olehnya. Tanggung jawab, kejujuran, dan kesabaran didalam memimpin sudah dikarantinakan menjadi suatu hal yang langka. Di dalam pemerintahan Indonesia misalnya. Pejabat-pejabat berpangkat tinggi tentu juga mengakomodasi nilai interpretasi atas rumusan masalah hanya berdasarkan kondisi perut mereka. Apakah masih menggerutu di dalam atau masih menggembung kekenyangan. Pemimpin seperti itu sudah tercemari oleh nafsu keduniaan. Tonggak hukum hanya bisa terlaksana apabila satu, kesempatan di dalam suasana. Kedua, keadaan si pemimpin sendiri apakah sanggup menelan uang haram itu atau malah kekenyangan sampai moh-moh. Ketiga, relasi yang bersangkutan atas kepentingan itu sendiri. Itu semua pun mlakune amung kanggo kae lo, wong cilik. Relasi lah yang membuat hukum itu berjalan atau terhambat, bahkan putar balik. Sistem hukum di Indonesia itu suci apabila berada pada tangan yang tepat. Para pemegang kekuasaan lebih suka mengintimidasi yang tak dikenalnya, dan apabila masih sanak saudara, para pemegang dengan terpaksa—atau malah berkeinginan, menerapkan sistem tawar menawar. Membuat hukum semakin tumpul. Meskipun dari pada itu, harta karunlah yang akan menjadi bahan pertimbangan si pemegang kekuasaan untuk menyamaratakan antara vonis hukuman dengan jumlah nominal terlampir. Inilah yang terjadi sekarang. Para pemimpin yang baik sudah tercemar nama baiknya gara-gara temannya sendiri. Mereka dalam lingkaran kegelapan. Mau tidak mau mereka di cap jelek—bahkan apabila sudah menerangi dirinya dengan lampu keimanan. Bendungan para pengkhianat sudah ambrol, meluber, membanjiri seantero desa bahkan lebih luas. Negara. Entahlah, faktor apa yang membuat para pemimpin di zaman mutakhir ini terlena akan janji manis nya pada saat akad pencalonan. Sumpah serapah. Sampai sekarang itulah yang membuat Si Danak, si pendekar desa—yang sudah melalang-buana, berpikir dua kali ketika tawaran akan keanggotaan desa sudah tersurat kepadanya. Lalu,pada saat Danak mengistirahatkan pilihan-pilihan itu, merelakan kicauan segerombol manusia di terpa angin hujan, ia menemukan kesejatiannya. Yaitu dengan tidak menjadi apa-apa.


Senin, 9 Oktober 2017

0 komentar: